Menulis adalah caraku menumpahkan kekesalan.

Aku kesal, bagaimana bisa aku membuang sampah sembarangan sedang aku selalu memaki kalau ada orang lain melakukannnya.

Aku kesal, ketika melihat pasangan suami istri mesra di media social dengan aktivitas mereka yang Nampak tidak ada sedikitpun motif ekonomi menjadi problem yang utama.

Aku kesal, mengapa mereka menyalahkan aku ketika aku memberi selembar dua ribu rupiah kepada seorang pengemis dengan mengatakan ‘’itu orang bisa jadi lebih kaya dari elo’’ apa – apaan ini? Padahal sekalipun pengemis itu menipu, itu bukan urusanku.

Aku kesal, mengapa masih ada orang yang selalu berbuat kesalahan kemudian selalu dimaafkan tapi dia melakukan kesalahannya lagi secara kontinyu.

Aku kesal, mengapa ada orang yang sulit sekali memaafkan.

Aku kesal, ketika ibu – ibu yang sedang nunggu anak sekolah mengumpat di grup obrolan whatsapp , mereka bilang wanita pekerja itu jauh dari standar istri shaleha karena tidak bersyukur atas nafakah dari suami, padahal mereka tidak mengerti di balik menyenangkan kami yang bekerja itu ada ketulusan membantu suami secara ekonomi, artinya adalah kamipun cari duit bukan untuk senang sendiri.

Aku kesal ketika ibu – ibu pekerja sedang menggerutu tentang ibu full rumah tangga yang menurut mereka tidak mandiri dan tidak berguna sama sekali. Padahal menurutku, ibu full rumah tanga inilah yang mendekati kategori istri shaleha. Mereka mendidik anak dengan baik, mengurus suami dengan baik. Mereka tidak melupakan kodratnya sebagai wanita.

Seorang kyai dalam ceramahnya mengatakan, ‘’mengukur kedalaman sebuah kolam itu gunakan hitungan yang pasti. Jangan mengukur kedalaman kolam dengan ukuran tubuhmu. Kalau kau tinggi, bagi orang yang pendek kolam itu akan terasa dalam, pun sebaliknya.’’ Ini menyadarkan bahwa ukuran kebahagiaan dan kesedihan setiap individu itu berbeda. Ada orang yang bahagia dengan membahagiakan orang lain, maka ada pula mereka yang bahagia dengan melukai orang lain.
Sebagai seseorang yang masih tergolong labil, aku sering berfikir beberapa hal di bawah ini ;
-         Aku fikir dongeng tentang cinta ditolak dukun bertindak itu hanya sebatas judul ftv.
-    Aku fikir kegilaan seseorang yang jatuh cinta itu berhenti pada cerita Bandung Bondowoso yang mewujudkan permintaan Roro Jonggrang, atau  bahkan cerita cinta Rahwana yang disiksa oleh Tuhan karena cintanya pada Dewi Shinta yang terlarang.
-     Aku fikir orang yang berteriak membela agama, membela Tuhan, membela kitab suci, itu mereka benar berjihad di jalan Tuhan. Tapi aku menemukan kepentingan di antara mereka. Dan hal sepele bernama ‘’politik’’ mampu memecah belah bangsa yang katanya NKRI harga mati.
Ternyata dongeng konyol itu benar ada di depan mata.
Aku juga kesal sering disalahkan karena lebih memilih mengalah daripada melawan, padahal menurutku, ada suatu masa dimana mengalah adalah pilihan terbaik, bukan menunjukkan kekuatan di satu pihak dan kelemahan di pihak lain, aku hanya ingin semua baik – baik saja. Melawan adalah pilihan terakhir ketika mengalah tidak lebih baik.

Semakin dewasa, semakin terbuka bahwa hidup itu sangat kompleks. Tidak ada satupun orang yang bisa memaksakan kehendak masing – masing, kalaupun ada, orang itu memang ditakdirkan untuk keras kepala. 


Eka Mustikasari

Post a Comment

0 Comments